Minggu, 18 Desember 2011

GARUDA DI DADAKU 2 : ANOTHER GOAL! WITH BIGGER HEARTS



Sepak bola Indonesia memang penuh dengan harapan walaupun seringnya berakhir dengan kekecewaan. Tapi mengobarkan semangat demi sebuah nasionalisme tentunya tetap perlu. Apalagi di cabang olahraga yang satu ini, dimana sebentuk persatuan bisa jauh lebih terasa. Film, adalah salah satu media untuk itu. Jadi mau sebanyak dan sesering apapun, meski olahraga ini bukan lahir disini, tak ada yang salah dengan itu. Seperti Hollywood dengan film-film football mereka, yang rata-rata selalu jadi box office karena kandungan utamanya. No, it ain't sport walaupun genrenya ada disana, namun lebih pada sebuah tema perjuangan yang jadi luarbiasa berarti dengan pesan-pesan penuh pengharapan untuk menggugah setiap hati pemirsanya. Zero to hero. Teamwork. Spirit. Friendship. Rivalry. Prestasi. Even biopics. Ada banyak sekali sisi dramatisasi yang bisa diangkat secara heartwarming. Mari tak menyebutnya klise, karena satu-dua sempalan plot yang sedikit berbeda tetap bisa membuatnya jadi spesial. Dan yang terpenting, dalam koridor itu, whether it's a total win or heart-win, people-win, atau apalah sebutannya, kita bisa bersorak bersama-sama di klimaksnya. So, saat unsur-unsur lainnya bisa diracik dengan paduan, serta tak bisa ditampik, pesan yang baik pula, pasti sulit untuk tak menyukainya. Let's get sporty.
'Garuda Di Dadaku' (2009) yang diproduksi SBO Films (waktu itu bersama Mizan) yang masih divisinya Salto, yang baru saja menyejukkan kita lewat kemenangan absolut 'Sang Penari' di FFI 2011 juga bersama sutradara Ifa Isfansyah, sudah punya semua itu. Sebuah film sport yang jadi begitu spesial dengan segala racikan khasnya dari skenario Salman Aristo. Satu highlight paling menonjol adalah tema persahabatan antara dua tokoh utamanya, Bayu (Emir Mahira), anak dengan bakat besar dan Heri (Aldo Tansani) yang punya keterbatasan fisik diatas kursi roda, yang saling berbagi kaki dan otak untuk bisa berjaya di tengah lapangan. Sekuelnya, kini dibesut oleh Rudi Soedjarwo dengan kecermatan yang sama. Oh ya, Shanty Harmayn yang berdiri dibalik Salto sekaligus JIFFest memang punya idealisme yang juga belum pernah tersandung ke suguhan-suguhan aji mumpung. Masih dengan skenario karya Salman, yang menyempalkan subplot-subplot baru tanpa meninggalkan sepenuhnya highlight persahabatan Bayu dan Heri tadi, Rudi kini menaikkan lanjutannya ke level baru dengan tambahan excitement yang berbeda di gaya penyutradaraannya yang juga sangat memperhatikan detil-detil terkecil. Ah, mau dibilang sempat tersandung di proyek syuting serba 7 hari dan penggunaan handheld secara over di beberapa filmnya yang bukan juga hasilnya jelek, let me assure you, bahwa Rudi tetap merupakan salah satu aset sinema kita, dengan inovasi apapun itu.
Keberhasilan Bayu diterima di timnas U-13 di film pertama kini berlanjut. Berada dalam timnas U-15 sebagai kapten, sasaran mereka kini adalah sebuah kompetisi junior tingkat ASEAN di Jakarta. Namun sebaris masalah menghadang. Pelatih lama, Pak Harri (Dorman Borisman) yang mendadak diganti dengan Wisnu (Rio Dewanto), atas campur tangan pengurus, mengharuskan Bayu dan rekan-rekannya berinteraksi ulang dengan teknik-teknik Wisnu yang berbeda dan tak kunjung memberikan keberhasilan. Di sekolah, Bayu semakin sulit membagi pendidikan dengan karirnya, apalagi teman sekelas barunya, Anya (Monica Sayangbati) yang tegas dalam tugas kelompok ikut menyita ketertarikan Bayu. Belum lagi di rumah, dimana Bayu harus menghadapi kedekatan ibunya, Wahyuni (Maudy Koesnadi) dengan Oom Rudy (Rendy 'Bragi' Krishna), partner bisnis barunya. Namun puncaknya adalah terganggunya persahabatan Bayu dengan Heri atas kedatangan Yusuf (Muhammad Ali), anak luar Jakarta yang langsung menjadi rising star yang dielu-elukan publik di timnya, sekaligus sahabat baru yang jadi lebih dekat dengan Heri. Bahkan Bang Duloh (Ramzi), supir Heri yang biasa menjadi penengah pun tak bisa berbuat apa-apa. Semua berkecamuk hingga membuat Bayu memilih menyingkir ketika Wisnu juga melepasnya sebagai kapten timnas, sementara pertandingan final sudah siap untuk berlangsung.
There you go. Konflik yang digelar Salman dalam sekuel ini memang meningkat ke level yang lebih serius ketimbang seorang anak berbakat dengan konflik keluarga yang tipikal, lengkap dengan sentilan-sentilan ke masalah persepakbolaan di negeri ini, berikut sepenggal proses pendewasaan dalam perkembangan usia karakternya. Padatnya subplot ini mau tak mau sedikit menyampingkan highlight bromance Bayu dan Heri yang sebenarnya jadi bagian paling kokoh di film pertamanya serta humor-humor segar dari karakter Bang Duloh. Namun jalur dramatisasi ini dihandle dengan baik oleh Rudi untuk tetap bisa mengalir konstan tanpa saling menindih secara overloaded. Subplot-subplot barunya menghadirkan karakter-karakter penuh dayatarik sebagai pengganti highlight yang tak juga seluruhnya jadi sama sekali pupus. Style penyutradaraannya yang sangat memperhatikan detil masih sangat terasa, dan Rudi agaknya sangat beruntung memiliki barisan cast dan crew yang masih mampu menyambung benang merah karakter mereka ke film pertamanya dengan sama baiknya.
Emir Mahira yang baru saja meraih piala Citra untuk perannya sebagai anak berkebutuhan khusus di 'Rumah Tanpa Jendela' menampilkan emosi akting yang pas dan semakin matang dibalik kualitas bintang mirip sosok Rano Karno kecil yang dimilikinya. Monica Sayangbati mungkin masih diserahi peran yang sedikit tipikal dengan film-filmnya yang lain, namun aktingnya menerjemahkan turnover karakter Anya dari awal ke penghujung film tergelar cukup wajar. Muhammad Ali tampil semenarik karakternya yang jadi rising star di skenario dengan potensi scenestealing cukup besar, namun diatas semuanya, adalah Rio Dewanto yang paling bersinar sekaligus jadi rising star perfilman kita memerankan Wisnu yang keras namun caring itu. Transformasinya dari satu film ke film lain bersama deretan filmografinya yang kian bertambah dengan cepat benar-benar sekencang bunglon yang kerap mengganti warna kulitnya tanpa saling terpengaruh antara satu dengan yang lain. Lihat perwatakannya disini saat harus membentak tegas namun berubah bersama ekspresi dan sorot mata yang teduh di part dramatisnya. Kredit tertinggi lainnya juga ada di tangan Eric Chooi dalam menyajikan shot-shot pertandingan seru di lapangan serta Aghi Narottama-Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro di departemen scorenya. Don't worry, mereka tak sepenuhnya menghilangkan tune 'Garuda Di Dadaku'-nya Netral yang fully patriotic itu untuk tetap jadi iringan soundtrack, namun score-nya digagas dengan style hymn yang sangat megah sejak awal jauh diatas standar film-film kita biasanya, dan ini merupakan satu hal yang sangat spesial. So hey, siapa bilang cuma film-film horor atau komedi saja yang bisa beranjak jadi sekuel disamping segelintir genre lain yang ada di perfilman kita? Ini adalah contoh bagus, digagas dengan hati, full of spirits, yang langsung melampaui excitement pendahulunya, and trust me, you'll cheer even louder! Cukuplah sinema Indonesia akhir tahun ini dikotori lagi oleh 'Arwah Kuntilanak Duyung' serta 'X:The Last Moment' yang hadir bersamaan minggu lalu. Minggu ini, waktunya himbauan 'Kamis Ke Bioskop' benar-benar jadi 'benar' bagi penontonnya bersorak bersama-sama. Yes, trust me, You'll cheer even louder for this one!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar